Diary Soe Hoek Gie

10 Desember 1959

Siang tadi, aku bertemu dengan seorang (bukan pengemis) yang tengah memakan kulit

mangga. Rupanya ia kelaparan. Inilah salah-satu gejala yang nampak di ibu kota.

Ya, dua kilometer dari pemakan kulit “paduka” kita mungkin lagi tertawa-ketawa, makan-makan dengan istrinya yang cantik. Dan kalau melihat gejala pemakan kulit itu, alangkah bangga hatiku. “Kita, generasi kita, ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau. Generasi kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua. Kita lah yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan Indonesia.”

“Aku besertamu, orang-orang malang.” Indonesia sekarang turun, turun dan selama tantang sejarah belum dapat dijawabnya, ia akan hancur. “Tanahku yang malang.” Harga barang membumbung semua makin payah. Gerombolan meneror. Tentara meneror. Semua menjadi teror.

Cuma pada kebenaran masih kita harapkan. Dan radio masih berteriak-teriak menyebarkan kebohongan. Kebenaran cuma ada di langit dan dunia hanyalah palsu, palsu. Baca lebih lanjut

Belajar dari Pelangi

Dahulu, warna-warna yang ada di Bumi bertengkar. Semua mengklaim dirinya paling bagus, dan paling berguna.

Si Hijau mengatakan, ”Akulah yang terpenting. Aku simbol kehidupan dan pengharapan. Aku dipilih oleh padi, rerumputan, dan pepohonan. Tanpa diriku, semua makhluk akan mati.”

Si Biru menimpali, ”Jangan hanya berpikir tentang Bumi. Lihatlah birunya langit dan lautan luas. Air adalah sumber kehidupan, langit memberi ruang dan kedamaian.”

Si Kuning menyela, ”Ah, kalian terlalu serius. Aku membawa kegembiraan dan kehangatan di dunia. Matahari berwarna kuning, juga Bulan. Tanpa kehadiranku tak ada kegembiraan.” Baca lebih lanjut

Andai Aku Tahu

“Allahu akbar..Allahu akbar”

“Allahu akbar..Allahu akbar”

Gema adzan telah menyapa. namun aku masih asyik dengan pembahasan suatu acara yang akan dilaksanakan sebentar lagi. tanggung, pikirku. waktu solatnya kan lama. rapatnya juga beres bentar lagi.

Tak terasa pembicaraan ini seru sekali. aku bercanda tawa dengan teman2ku selama rapat berlangsung. tanpa sadar waktu sudah menunjukkan pukul 7 kurang 10. aku pun solat maghrib dengan terburu2. entah surat apa yang aku baca tadi.

Tepat setelah aku mengucap salam, salah seorang temanku mengajak makan malam. tanpa berpikir panjang aku pun mengiyakannya. perut ini telah keroncongan semenjak tadi, menuntut untuk dipenuhi haknya. Baca lebih lanjut

Andira

Aku berlari, berlari, berlari. Entah kemana aku tidak lagi peduli. Air mata terburai tak terhenti. Hendak kemana? Hendak kemana? Kemana arah yang harus kucapai? Oh, Tuhan. Apa yang harus kulakukan? Belahan hati telah pergi menuju nirwana berkendara angin. Kemana? Kemana aku harus pergi?

Aku terhenti di sebuah sudut jalan. Redup nyaris tak berpelita. Terduduk aku di bawah semburat cahaya lampu jalanan setengah berpendar. Air mata tak henti-hentinya berlinang. Hati pun terasa sakit bagai luka tersiram air keras. Foto di tanganku telah menjadi usang. Tertimpa basahnya air mata dan sedikit darah. Darah? Tak kusangka foto itu kugenggam begitu eratnya hingga tak terasa telapak telah tercakar-cakar nelangsa. Baca lebih lanjut

Jilbab, Identitas Muslimah Dunia Akhirat

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. 33:59)
Iin Yuliana Manopo sent a message to the members of Muslim Community.

——————–
Subject: Jilbab Hati

Ada seorang wanita yang dikenal taat beribadah. Ia kadang menjalankan ibadah sunnah. Hanya satu kekurangannya. Ia tak mau berjilbab. Menutup auratnya. Setiap kali ditanya ia hanya tersenyum dan menjawab, “Insyaallah. Yang penting hati dulu yang berjilbab.” Sudah banyak orang yang menanyakannya maupun menasehatinya. Tapi jawabannya tetap sama.

Hingga di suatu malam… Baca lebih lanjut