Andira

Aku berlari, berlari, berlari. Entah kemana aku tidak lagi peduli. Air mata terburai tak terhenti. Hendak kemana? Hendak kemana? Kemana arah yang harus kucapai? Oh, Tuhan. Apa yang harus kulakukan? Belahan hati telah pergi menuju nirwana berkendara angin. Kemana? Kemana aku harus pergi?

Aku terhenti di sebuah sudut jalan. Redup nyaris tak berpelita. Terduduk aku di bawah semburat cahaya lampu jalanan setengah berpendar. Air mata tak henti-hentinya berlinang. Hati pun terasa sakit bagai luka tersiram air keras. Foto di tanganku telah menjadi usang. Tertimpa basahnya air mata dan sedikit darah. Darah? Tak kusangka foto itu kugenggam begitu eratnya hingga tak terasa telapak telah tercakar-cakar nelangsa.

Hari ini Andira, laki-laki yang bersamaku di foto itu, telah pergi. Yah, pergi jauh ke tempat yang tak lagi bisa kugapai. Bukan lagi ke Roma dimana surat bisa dilayangkan. Bukan lagi ke Bandung yang tiap minggunya bisa kugapai dengan bis. Sejak saat ini ia tidak bisa kutemui. Bukan karena alasannya sibuk atau karena aku yang terlalu mementingkan kerja sambilan. Apapun alasannya, menunggu sampai kapanpun, menanti dimanapun, ia tak akan pernah kutemui lagi.

Aku berjalan gontai. Menuju ke tempat yang aku sudah tidak tau ada dimana lagi. Lampu pejalan kaki menunjukkan warna merah. Aku menatap ke seberang. Tampak Andira di sana sedang melihat ke arahku. Tersenyum. Sama seperti lima tahun lalu. Di jalanan kota tua Jakarta yang penuh kenangan. Wajahnya meneduhkan, senyumannya mempesonakan. Oh, Andira. Sungguh waktu itu terasa seperti Tuhan menurunkan wangi surganya sesaat padaku. Melihat sinar matamu, sungguh membuatku melupakan semua kejadian sedih kala itu. Kejadian sedih? Kejadian sedih apa?

Aku mulai menyeberang jalan. Berjalan sendu melewati jejeran toko yang tiada lampu menyala. Udara mulai mendingin dan hujan makin deras. Aku berlari, berlari, berlari seakan menghindari hujan tapi malah menjauh dari bangunan terdekat. Wajahku basah karena hujan dan air mata. Entah berapa lama lagi aku bisa menangis sebelum tangisan ini berubah jadi darah.

Langkahku terhenti di taman penuh bunga Lili. Kepalaku rasanya seperti tertimpa batu dan terhantam keras. Sakit rasanya menerjang sekujur badan. Kepalaku berputar dan aku tidak bisa lagi mencari pegangan. Aku terjatuh, menangis. Warna putih bunga Lili mengembalikanku pada memori yang tak ingin aku ingat kembali. Nisan, semua nisan. Orang-orang berbaju hitam berkumpul disekelilingku sama seperti tadi pagi di pemakaman Andira. Ada apa? Ada apa? Andira, apa sebenarnya hal yang tak mau kuingat ini? Hatiku rasanya remuk redam teringat akan ketiadaan Andira disisiku. Ketiadaan seseorang yang menjadi kekuatanku. Orang yang selama ini menjadi tumpuanku selama ini.

Aku terduduk di salah satu sudut dalam taman. Pikiranku terngiang saat Andira datang ke rumah sakit tempatku dirawat. Entah siapa dia waktu itu aku tidak tahu. Andira datang membawakan bunga mawar merah muda. Kemeja merahnya berpadu apik dengan bunga yang ia bawa. Oh sungguh, kenangan yang tak pernah aku bisa lupakan. Ia menyuapiku di kala aku tidak mau makan. Menenangkanku di saat aku tidak bisa tidur. Membawakan aku video dari toko CD tempatnya bekerja sambilan agar aku tidak bosan. Kadang ia juga membantu suster untuk mengganti perban di kepalaku. Saat itu aku sungguh malu karena kepalaku mulus tanpa rambut.

Angin kembali menerpa wajahku. Wangi bunga Lili kembali menyeruak memasuki otakku. Sakit kali ini kurasakan, di hatiku juga di kepalaku. Andira.. Andira.. Kenangan kembali merasuki pikiranku. Andira selalu membawaku ke tempat-tempat yang sangat indah. Entah pegunungan atau perkebunan. Indah dan dipenuhi warna hijau. Sungguh, ini kali pertama aku berkeliaran tak tentu arah di jalanan kota, bahkan kali pertama aku menemukan bunga Lili lagi setelah sekian lama. Sekian lama? Sudah berapa lama?

Kucoba untuk bangkit dan berdiri. Lampu depan sebuah mobil di seberang jalan menyilaukan mataku. Bunyi decit rem mobil yang berbelok di tikungan membuat hatiku berdecit sama kerasnya. Kumpulan orang berbaju hitam, nisan, Andira yang berbaju formal, mobil Lancer hitam, Ayah! Ibu! Betul sekali. Tak pernah sekalipun aku berpikir apakah ayah dan ibu akan cemas aku berlari-lari di jalanan di malam hari seperti ini. Tapi dimana mereka? Tak sekalipun aku melihat mereka. Andira, ayah,ibu dimana kalian?

Kulanjutkan berjalan ke arah dimana kulihat adanya cahaya. Aku lapar dan rasanya sangat butuh makanan. Terus berjalan dan aku melihat satu kios 24 jam. Di dalamnya aku melihat segerombolan mahasiswa. Ah, sudah jam 11.58 rupanya ketika kutatap jam tangan. Segerombolan mahasiswa itu mengerubuti satu kue ulang tahun. Kue ulang tahun? Ulang tahun? Hari itu aku pun berulang tahun. Hari dimana aku menggenggam kue ulang tahunku di dalam mobil Lancer baru ayah. Ayah duduk di sebelah supir dan ibu duduk tepat di belakangnya. Aku terus menerus memeluk kursi supir di depanku ketika mereka menyuruhku menutup mata untuk hadiah. Dan saat itu kurasakan gravitasi tak lagi ada. Badanku melayang sesaat dan…

“HAPPY BIRTHDAY TO YOU.. HAPPY BIRTHDAY TO YOU..” suara para mahasiswa itu terdengar menggaung di kepalaku. Lagu yang sama terdengdangkan lima tahun lalu. Tapi lagu itu tidak sepenuhnya sama. Yang ada dalam ingatanku diikuti raungan memekik. Aku ingat aku pun berteriak kala itu. Mobil berputar balik dan aku tidak tahu harus bagaimana lagi harus menyelamatkan diri. Aku terus berpusing dan terpental ke sana kemari sampai akhirnya mobil terhenti dan aku tak ingat apapun lagi. Air mataku berderai. Ayah, Ibu. Apakah mereka selamat sejak saat itu? Ataukah.. oh tidak, aku tak mau membayangkannya.

Kurogoh saku jaketku, mencari uang untuk membeli sekadar biskuit untuk mengisi perut. Oh, ini bukan jaketku rupanya. Ini jaket Andira yang diberikannya padaku sesaat sebelum… Air mataku jatuh lagi. Yah, Andira tiada karena menyelamatkanku dari pengendara yang mabuk itu. Mobil yang tiba-tiba menerobos mendekati trotoar itu menuju ke arahku. Andira mendorongku ke sesemakan dan membuatku terantuk pagar sedemikian kerasnya. Dan ketika kusadar, aku harus mengikuti pemakaman Andira berbalut baju hitam yang dipinjamkan tetangganya.

Sambil menutup mulut dan hidungku yang sudah basah dan merah karena tangis, aku rogoh bagian dalam saku jaket itu. Ketemukan amplop yang juga tidak kalah lusuhnya dengan foto yang sejak tadi kuremas. Di dalamnya ada sepucuk surat dan selembar foto. Di dalam foto itu tergambar wajahku dalam versi kecil dan sepasang suami istri memakai sarimbit. Kubuka surat itu dan membacanya kata demi kata.

Dear Natasha, 

                Sungguh begitu nista aku merasakan setiap detiknya ada di sisimu dan merawatmu. Tidak pernah aku merasa lebih berdosa lagi selain melihat senyummu tiap harinya. Merawatmu dan membantumu setiap saat, hanya itu yang bisa aku lakukan. Maaf, aku belum menceritakan semuanya padamu dan menunggu hingga aku mempunyai keberanian memberikan surat ini dan yakin kamu tidak akan membenciku. 

                Hari itu, aku menggantikan ayah yang sudah sepuluh tahun menjadi supir pribadi ayah dan ibumu. Ayahku sakit dan mempercayakan tugasnya untuk mengantarkan kalian sekeluarga menuju villa di pegunungan kepadaku yang sudah sejak kecil belajar menyetir. Waktu itu aku sungguh sedang gelap mata karena baru saja ditolak oleh cinta pertamaku. Aku menyetir tanpa konsentrasi penuh dan tidak menyadari adanya tikungan tajam. Mobil terjun bebas ke arah jurang dan aku tidak tahu harus berbuat apa. Beruntung mobil tersangkut di pepohonan dengan sisi supir berada di atas sementara sisi lainnya remuk menghantam batang pohon. Aku dan kau selamat sementara ayah dan ibumu tak bisa tertolong lagi. 

                Aku mengalami patah tulang berat sedangkan kau terantuk cukup keras dan menderita hilang ingatan parah. Aku merasa berdosa padamu karena telah merenggut nyawa ayah dan ibumu karena sebuah keteloderan yang sungguh tak berarti. Aku menunggumu untuk menyalahkanku atas semuanya. Ada di sisimu dengan perasaan berdosa tiap harinya sungguh tidak mengenakkanku. Awalnya aku ingin menceritakan seluruhnya setelah engkau pulih terlebih dahulu. Seiring berjalannya waktu, aku tidak sanggup menceritakannya. Membayangkan kau akan membenciku membuat hatiku sakit. Semakin hari, aku semakin menyayangimu dan juga semakin merasa berdosa akan kesalahanku di waktu lalu. 

                Aku harap setelah membaca surat ini, kau tidak beralih membenciku dan tetap menjadi Tasha yang aku kenal dan cintai. Foto itu adalah foto ayahmu,ibumu dan dirimu yang kudapat dari ayah. Kuharap kau menyimpannya dan bisa kembali mengingat wajah keduanya.

 

NB: Semua dokumen yang ayah dan ibumu tinggalkan termasuk surat-surat berharga masih tersimpan baik di brankas kecil di bawah tempat tidurku. Tidak ada yang kusentuh satupun. Apapun yang kau makan dan kau pakai adalah hasil kerjaku sendiri. Brankas kecil itu semuanya milikmu.

 

 

Salam

 

Andira

Oleh: Roswitha Munthiyarso

Tinggalkan komentar