Ibadah, Karya, dan Rasa

Entahlah, sepertinya dunia memang telah kehilangan keseimbangannya.

Tiada lagi bisa kudapati kearifan seorang manusia menyatu dengan alamnya.

Susah kini mencari sosok penuh integritas yang nafasnya terhembus untuk serangkai frase saja:IBADAHKARYA, dan RASA.

Ibadah, yang jadi alasan mengapa para Nabi dan Rasul bersedia mengorbankan hidup mereka.

Ibadah, yang jadi energi setiap masa: belajar berjalan, belajar dewasa, belajar mengajarkan.

Ibadah, yang menjadikan setiap periode masa, walau sepersekian detik saja, jauh dari predikat “sampah peradaban”.

Karya, yang mempertahankan manusia dalam kancah kompetisi di muka bumi.

Karya, yang menjadi bukti bahwa penempaan dalam hidup seseorang, dan bangsa, mencetaknya menjadi “logam mulia”.

Karya, yang jadi alasan mengapa seseorang di masa depan bisa belajar dari sejarah nenek moyangnya.

Rasa, yang menyatukan berjuta ekspresi manusia menjadi hal besar untuk diapresiasi.

Rasa, yang melibas habis egoisme diri, lalu menjelmakannya menjadi empati pelipur segala lara.

Rasa, yang melaluinya Sang Penggenggam Hati meridhoi manusia, untuk merangkulnya menuju surga.

Dunia kini dipenuhi manusia yang tercoreng moreng tinta hitam kemunduran peradaban.

Jangankan IBADAH, terpeleset maksiat kecil sudah menjadi hal biasa.

Jangankan KARYA, mencontoh kebaikan dari suatu entitas pun masih sulit adanya.

Jangankan RASA, hati mereka tengah terhimpit hegemoni budaya kamu-kamu, saya-saya.

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).

QS Al-Anfaal:60

Allah menginstruksikan kita untuk mempersiapkan segalanya, ya, segalanya, untuk menghadapi “perang” itu.

Perang melawan musuh Allah. Musuh Allah yang beragam bentuknya, tiada terhenti masanya.

Agar suatu hari nanti, akan ada pengganti generasi yang telah cedera saat ini.

Kelak, tiada lagi birokrat lemah hukum, tapi birokrat penegak hukum.

Bukan lagi mafia pajak, tapi mafia pemusnah maksiat.

Bukan lagi generasi plagiat, tapi generasi kreatif.

Bukan lagi masyarakat pengguna, tapi bangsa produsen.

Bukan lagi tukang impor beras, tapi eksportir segala jenis produk hortikultur terolah.

Bukan lagi penganut faham sinetronisme, tapi ideologi tarikh Nabi.

Bukan lagi negeri sarat bencana, tapi bangsa penuh barokah.

Kalau saat ini aku resah, maka aku akan berhenti menjadi “ABG manja”. Lalu bertransformasi menjadi pemuda bertaqwa yang selalu berkarya.

Kalau kamu bagaimana?

Oleh: Hanifah Fitriani

Tinggalkan komentar